Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang digaungkan pemerintah. Efeknya, program tersebut bakal terkendala susahnya orangtua memasukkan generasi penerus bangsa ke sekolah.

Jangan sampai dunia pendidikan memberlakukan hukum pasar, sekolah favorit mengikuti ‘harga pasar’, makin diminati akan membuat biaya masuk ke tempat tersebut menjadi makin mahal.
Yang disayangkan, kondisi bertolak belakang malah terjadi di sekolah non-favorit yang berada di daerah pinggiran. Pihak sekolah seperti kesulitan mendapatkan anak didik, hanya karena mereka berada di pinggiran kota.
Tengok saja bagaimana perbedaan mencolok antara bangunan sekolah di pusat kota dengan daerah pinggiran. Belum lagi ketersediaan guru dan buku pelajaran yang ada di masing-masing sekolah.
Tidak meratanya penghasilan juga menjadi penyebab minat tiap orangtua saat memilihkan sekolah bagi buah hati mereka.
Bagi orangtua berkocek tebal, tentu sangat mudah memenuhi keinginan anak mereka bersekolah elite yang memerlukan dana besar saat masuk ke tempat itu.
Bandingkan dengan keluarga menengah ke bawah. Untuk membayangkan anak mereka mereka bisa bersekolah ke tempat favorit, menjadi hal yang hanya ada di angan-angan.
Kondisi itu juga mencerminkan bagaimana wajah pendidikan di negeri ini. Tidak meratanya fasilitas tiap sekolah membuat ‘sekolah pinggiran’ seperti dianaktirikan.
Seandainya ketersediaan fasilitas mendidikan —termasuk materi pelajaran dan guru— tentu masing-masing sekolah akan memiliki standar yang sama bagi anak didik mereka.
Inilah pekerjaan rumah yang masih terjadi sejak beberapa tahun silam. Belum meratanya fasilitas pendidikan turut menghambat berjalan mulusnya Program Wajib Belajar Sembilan Tahun.
Selain keseriusan pemerintah memeratakan pembangunan fasilitas pendidikan dan perangkatnya, hati nurani tiap pengelola sekolah harusnya juga terketuk agar mereka tak memandang dunia pendidikan sebagai ladang bisnis.
Jiwa sosial mereka harusnya terpanggil, agar Program Wajib Belajar Sembilan Tahun tak hanya manis di atas kertas, namun benar-benar diterapkan agar generasi penerus negeri ini bisa mendapat pendidikan. (*)
“ZAMAN sekarang sekolah memang mahal.” Ungkapan demikian seperti sudah lazim di dunia pendidikan di Indonesia. Sejak masuk pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga …
Pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan dan pondasi utama untuk membangun peradaban bangsa. Kesadaran akan arti penting pendidikan akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin …
Lorem upsu a awnd awjkdn kan dkanwkdjn akdnkjanwdnawkdnadnkjawb k kjah dkag dkawk d akdkjahdkhakjd kajd kjahdkahwkjdhakjdhkja dka kjdhakjwhdka hkd akwhdka dk kd kajwdhkawhdkawkdakd …
Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang digaungkan pemerintah. Efeknya, program tersebut bakal terkendala susahnya orangtua memasukkan generasi …
Masuk untuk menulis komentar!